Laman

Minggu, 03 Februari 2013

Hubungan “Asmara” Cina dengan Mobil Menyebabkan Polusi

Share on :
Antrian tiada akhir dari mobil yang berjalan pelan muncul lalu menghilang di tengah kabut asap Beijing pada pekan ini dan membuat cakrawala kelam.

Dengan lebih dari 13 juta mobil terjual di Cina tahun lalu, kendaraan bermotor menjadi penyebab dari polusi udara yang menusuk tenggorokan di sejumlah kota besar, khususnya di Beijing. Kondisi polusi ini menjadi lebih parah selama beberapa hari terakhir.

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk kelas menengah di Cina selama 20 tahun terakhir, mobil menjadi simbol kemakmuran. Dengan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat, penggunaan mobil akan terus meningkat, dan telah menyebabkan polusi udara yang berbahaya di lingkungan perkotaan Cina serta berimbas terhadap kesehatan, produktivitas, serta kualitas hidup.

Meningkatnya penggunaan mobil telah berubah menjadi siklus yang berbahaya.

“Jujur saja, semakin kotor udaranya, maka aku semakin cenderung membawa kendaraan, karena aku tidak suka menggunakan bus yang padat atau berjalan di luar dalam udara yang kotor,” kata masinis kereta bawah tanah, Gao Fei.

20 tahun yang lalu, sepedalah yang menguasai jalanan, bukan mobil. Kini, “Membeli mobil sama seperti membeli sepeda,” kata Gao yang mengendarai sedan Buick Regal di bagian barat Beijing.

“Warga China masih belum lama memiliki mobil. Jadi bagi mereka mobil masih menjadi barang baru dan mereka cenderung mengendarai mobil setelah mengendarai sepeda selama sekian lama,” tambahnya. “Mereka lebih cenderung menikmati kemacetan lalu lintas dibandingkan menderita dalam bus yang penuh penumpang.”

Di 1990-an, beberapa kendaraan yang ada di jalanan adalah milik pemerintah atau perusahaan negara. Lonjakan kepemilikan terhadap kendaraan pribadi baru terjadi pada sepuluh tahun terakhir.

AP/Ng Han GuanPemerintah mempromosikan pembelian mobil sebagai cara untuk menjaga pertumbuhan ekonomi seiring dengan pinjaman pembelian mobil yang menarik yang ditawarkan oleh sejumlah bank. Kebijakan tersebut, serta kebiasaan tradisional warga Cina yang gemar menabung, telah membuat mobil-mobil seperti Buick Regal milik Gao (sekitar Rp444,5 juta) dapat dibeli oleh sebagian besar warga meski rata-rata gaji tahunan di Beijing hanya sekitar Rp86,3 juta. Imbasnya adalah meningkatnya jumlah emisi kendaraan.

Penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik masih menjadi penyebab utama polusi udara di Cina, namun emisi kendaraan adalah sumber tunggal terbesar PM2,5--polutan sekunder yang terbentuk di udara dan cukup kecil untuk masuk ke dalam paru-paru warga di Beijing--seperti yang dikatakan mantan walikota kota tersebut, Hong Feng.

Ia mengatakan bahwa kendaraan menyumbang 22 persen dari PM2,5 di ibu kota negara itu, disusul pembakaran batu bara sebesar 17 persen, dan debu dari situs konstruksi sebesar 16 persen. Beberapa hari terakhir, kualitas udara di Beijing turun drastis seiring meningkatnya penggunaan lampu karena gedung-gedungnya diselimuti kabut.

Zhang Quan, seorang purnawirawan, mengatakan bahwa kabut asap tersebut adalah kabut asap terburuk dan terlama yang pernah ia lihat selama hidupnya.

“Saat aku masih muda, guru geografi kami mengajari cara mengenali galaksi dan aku bisa melihatnya di malam hari, tapi aku rasa anak-anak sekarang tidak bisa melakukan hal itu lagi,” kata Zhang (52).

Cina yang mulai terbuka, serta warganya yang kritis, berhasil menekan pemerintah untuk menjadi lebih transparan mengenai seberapa buruk kualitas udaranya. Melalui media sosial, mereka bisa mendapat informasi yang lebih baik, bahkan menguji kualitas udaranya sendiri. Informasi terkini mengenai kualitas udara di 70 kota yang terus diperbarui setiap satu jam kini tersedia secara online, dan dua kota dengan kualitas udara terburuk, yang belum pernah terjadi sebelumnya, menjadi sorotan media di negara itu.

Namun seiring dengan bertambah kayanya warga Cina, keinginan untuk mendapatkan udara yang lebih bersih terbentur dengan meningkatnya ketergantungan mereka terhadap mobil.

Wang Hui, warga Beijing, biasa mengendarai Toyota Camry yang ia beli tujuh bulan yang lalu dan digunakan oleh suaminya untuk melakukan pertemuan dengan kliennya. Ia dan suaminya menjalankan usaha desain laboratorium sekolah. Kini Hui tidak dapat membayangkan jika harus hidup tanpa mobil.

“Suamiku benar-benar membutuhkan mobil untuk melakukan bisnisnya, karena lebih nyaman. Jadi kami tidak akan berhenti menggunakan mobil, bahkan jika polusinya bertambah buruk. Satu mobil tidak akan berpengaruh dan dalam kehidupan kami, kami sangat membutuhkannya.”

Cina adalah pasar mobil terbesar di dunia berdasarkan jumlah kendaraan yang terjual di sana. Namun masih jauh tertinggal dalam hal rasio antara jumlah orang dengan mobil. Pada 2010, di Cina hanya ada 31 dari 1000 orang yang memiliki mobil, dbandingankan dengan Amerika Serikat dengan rasio 424 dari 1000 orang yang memiliki mobil, seperti yang disebutkan analis IHS, Namrita Chow.

Lebih dari 13 juta mobil terjual di Cina pada 2012. Ini meningkat 7,6 persen per tahun, seperti yang diambil dari data IHS Automotive, dan diharapkan bahwa tingkat pertumbuhan tahunan akan naik menjadi 11 persen di 2013. Mobil baru tersebut kebanyakan terjual di daerah miskin dan di pedalaman Cina, tempat pemerintah bertujuan untuk menekan pertumbuhan dengan menaikkan gaji, sehingga orang bisa memiliki uang lebih untuk dibelanjakan.

Di Beijing, jumlah kendaraan telah meningkat menjadi 5,18 juta unit, sementara pada awal 2008 hanya berjumlah 3,13 juta unit, seperti dilaporkan Xinhua, Senin.

Guna membatasi jumlah mobil, kota tersebut telah mengadopsi sistem plat berbasis lotere dan melarang mobil kelima untuk memasuki kota pada setiap hari kerja dengan menerapkan ancaman denda. Namun, saat berpergian para pemilik mobil biasanya tidak memasang plat nomor mereka supaya terhindar dari kamera pengawas atau membeli mobil bekas.

Emisi kendaraan terkumpul karena kurang efektifnya transportasi umum, rendahnya standar emisi, dan lambannya perkembangan teknologi yang ramah lingkungan dan hemat energi, seperti yang disebutkan Asian Development Bank dalam analisis lingkungan China.

Lebarnya jalan dan jalan lintang susun yang terbentang sampai delapan jalur, membuat para pejalan kaki sulit berpergian dalam waktu singkat. Sistem transportasi bawah tanah di kota itu juga dipadati oleh para penumpang, dengan jalur pejalan yang kaki yang panjang serta stasiun-stasiunnya yang tidak selalu terhubung dengan halte bus. 

“Transportasi publik seharusnya menjadi prioritas, namun kita harus memahami bahwa jika Anda ingin membangun sistem transportasi publik yang baru maka Anda harus merencakan dan mendesain tata kotanya dengan tepat,” kata Ma Jun, direktur Institute of Public and Environmental Affairs.

China harus belajar dari kota-kota seperti New York dan Hong Kong, tambahnya.

Gao, sang masinis kereta bawah tanah tidak bisa membayangkan jika orang-orang yang ia kenal harus hidup tanpa mobil. Ia dan istrinya, yang bekerja sebagai penjual tiket, merasa khawatir terhadap kesehatan anak mereka yang berusia satu tahun seiring dengan polusi yang terus memburuk.

“Impianku sederhana,” katanya. “Tinggal dalam apartemen yang hangat, mengendarai mobil yang aku suka dan memiliki anak yang sehat.

(Periset berita AP, Fu Ting di Shanghai dan Yu Bing di Beijing turut memberi andil dalam laporan ini.)
Share on :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Telah Membaca Post ini..
Jangan Lupa Untuk Meninggalkan Komentarnya yah ツ